Will I Do The Same?
Tuesday, 2 May 2017
Saya adalah anak bontot dari tiga bersaudara. Sejak kecil, saya ingin sekali punya adik. Penasaran bagaimana rasanya, aktivitas seru apa saja yang mungkin akan kami lakukan bersama, apakah kami akan akur, dan lain sebagainya. Tapi, saya tidak pernah membicarakan hal itu secara berlebihan karena saya sadar, ibu saya sudah tak bisa lagi punya bayi karena faktor "u", hehehhe.
Salah satu faktor kenapa saya ingin punya adik kecil adalah, saya mengamati sikap kakak-kakak terhadap saya. Di mata saya, mereka sangat powerful. Melakukan hal-hal yang tidak pernah bisa saya balas dengan seenaknya. Contohnya adalah, mereka senang sekali memaanfatkan status kakak untuk bisa menyuruh saya melakukan ini-itu. "Dek, ambilin itu-ku.", "Dek, beliin anu, dong, sana ke warung.", "Dek, tolong anuin ini, dong.", dsb, dsb...
Selain itu, mereka juga senang sekali ngebully saya, menertawakan, dan sering mempermalukan saya di depan orang-orang. Yah, walaupun saya tahu itu semua bercanda dan 'tanda sayang', katanya, tapi kan tetap saja menyebalkan karena sebesar apa pun usaha saya, saya tidak bisa membalasnya dengan setimpal. Mereka selalu saja menemukan cara untuk mengalahkan saya. Sib, nasib.
Di balik kenakalan mereka, untungnya kedua kakak saya sangatlah baik dan bertanggung jawab, kalau boleh saya bilang. Mereka berdua adalah tipe kakak yang sering dapat giliran untuk mengantar-jemput saya ke sekolah, bahkan mengambilkan rapor saya. Kakak pertama, sejak saya SD, dia senang sekali mengajak saya jalan-jalan, walaupun seringnya jalan-jalan ke mal. Dia sangat hobi belanja, dari mulai kaset MLTR sampai celana jeans cutbray super lebar. Kadang, saya harus bersabar menunggunya memilih-milih sampai lapar. Tentu saja setelah itu kami jajan, hahaha (walaupun seringnya karena saya yang merengek).
Kakak kedua, dialah lelaki yang paling hobi ngebully saya. Tapi di balik itu, dia sangat peduli kepada saya, terutama apapun yang berkaitan dengan pendidikan dan karir. Nilai IPA dan matematika saya selalu jelek sejak lulus SD, dan sejak itu pula saya selalu meminta bantuannya untuk mengajari saya. Di saat teman-teman lain ikut les di bimbel saat SMP, saya justru les privat dengan kakak lelaki saya di rumah. Bahkan, kami sampai membeli whiteboard kecil di Toko Merah. Setelah lulus, dia mengajak saya untuk berkeliling dan 'survey' ke berbagai SMA, dan membantu saya mengurus pendaftaran. Saya hampir selalu konsultasi dengannya perihal sekolah, kuliah, dan pekerjaan.
Kini saya sudah bekerja, tapi ternyata kemurahan hati mereka tak pernah luntur. Dengan tulus, mereka selalu memastikan apakah saya baik-baik saja dan dalam keadaan cukup, selalu menanyakan apakah uang saya masih. Tentu saja selalu saya jawab masih, haha. Selalu berusaha membantu jika saya sedang kesulitan di tanah rantau, entah itu mentraktir ketika sedang ngumpul atau bahkan sampai mencarikan tiket untuk mudik. Semuanya mereka usahakan dengan senang hati. Mereka seolah sadar betul bahwa selama saya jauh dari orang tua, merekalah yang menggantikan posisinya.
Rasanya tiap detik saya ingin berterima kasih kepada Tuhan karena telah menjadikan mereka sebagai kakak saya, berterima kasih kepada kedua orang tua yang telah mendidik budi pekerti mereka, entah bagaimana caranya bisa jadi seperti itu. Semoga Allah selalu memberikan limpahan berkah kepada mereka, juga kepada anak hingga cucu-cucu mereka.
Satu pertanyaan yang selalu terngiang di pikiran seandainya saya benar-benar punya adik adalah; will I do the same?
Salah satu faktor kenapa saya ingin punya adik kecil adalah, saya mengamati sikap kakak-kakak terhadap saya. Di mata saya, mereka sangat powerful. Melakukan hal-hal yang tidak pernah bisa saya balas dengan seenaknya. Contohnya adalah, mereka senang sekali memaanfatkan status kakak untuk bisa menyuruh saya melakukan ini-itu. "Dek, ambilin itu-ku.", "Dek, beliin anu, dong, sana ke warung.", "Dek, tolong anuin ini, dong.", dsb, dsb...
Selain itu, mereka juga senang sekali ngebully saya, menertawakan, dan sering mempermalukan saya di depan orang-orang. Yah, walaupun saya tahu itu semua bercanda dan 'tanda sayang', katanya, tapi kan tetap saja menyebalkan karena sebesar apa pun usaha saya, saya tidak bisa membalasnya dengan setimpal. Mereka selalu saja menemukan cara untuk mengalahkan saya. Sib, nasib.
Di balik kenakalan mereka, untungnya kedua kakak saya sangatlah baik dan bertanggung jawab, kalau boleh saya bilang. Mereka berdua adalah tipe kakak yang sering dapat giliran untuk mengantar-jemput saya ke sekolah, bahkan mengambilkan rapor saya. Kakak pertama, sejak saya SD, dia senang sekali mengajak saya jalan-jalan, walaupun seringnya jalan-jalan ke mal. Dia sangat hobi belanja, dari mulai kaset MLTR sampai celana jeans cutbray super lebar. Kadang, saya harus bersabar menunggunya memilih-milih sampai lapar. Tentu saja setelah itu kami jajan, hahaha (walaupun seringnya karena saya yang merengek).
Kakak kedua, dialah lelaki yang paling hobi ngebully saya. Tapi di balik itu, dia sangat peduli kepada saya, terutama apapun yang berkaitan dengan pendidikan dan karir. Nilai IPA dan matematika saya selalu jelek sejak lulus SD, dan sejak itu pula saya selalu meminta bantuannya untuk mengajari saya. Di saat teman-teman lain ikut les di bimbel saat SMP, saya justru les privat dengan kakak lelaki saya di rumah. Bahkan, kami sampai membeli whiteboard kecil di Toko Merah. Setelah lulus, dia mengajak saya untuk berkeliling dan 'survey' ke berbagai SMA, dan membantu saya mengurus pendaftaran. Saya hampir selalu konsultasi dengannya perihal sekolah, kuliah, dan pekerjaan.
Kini saya sudah bekerja, tapi ternyata kemurahan hati mereka tak pernah luntur. Dengan tulus, mereka selalu memastikan apakah saya baik-baik saja dan dalam keadaan cukup, selalu menanyakan apakah uang saya masih. Tentu saja selalu saya jawab masih, haha. Selalu berusaha membantu jika saya sedang kesulitan di tanah rantau, entah itu mentraktir ketika sedang ngumpul atau bahkan sampai mencarikan tiket untuk mudik. Semuanya mereka usahakan dengan senang hati. Mereka seolah sadar betul bahwa selama saya jauh dari orang tua, merekalah yang menggantikan posisinya.
Rasanya tiap detik saya ingin berterima kasih kepada Tuhan karena telah menjadikan mereka sebagai kakak saya, berterima kasih kepada kedua orang tua yang telah mendidik budi pekerti mereka, entah bagaimana caranya bisa jadi seperti itu. Semoga Allah selalu memberikan limpahan berkah kepada mereka, juga kepada anak hingga cucu-cucu mereka.
Satu pertanyaan yang selalu terngiang di pikiran seandainya saya benar-benar punya adik adalah; will I do the same?
edit
No comments:
Post a Comment