Saya dan Rokok

Pada tulisan kali ini saya akan menuangkan bagaimana pandangan saya terhadap rokok, perokok, atau apapun lah yang terkait. Saya tidak akan membicarakan hal-hal ilmiah yang mendetail tentang ini (karena memang saya tidak tahu banyak). Semua semata-mata berasal dari perspektif saya, opini saya.

Saya tidak pernah suka dengan asap rokok. Tidak tahan, sebenarnya. Saya kira banyak juga orang yang berpendapat sama. Saya tidak tahu pasti apa sebabnya, mungkin karena terbiasa sejak kecil. Di rumah, tidak ada satu pun anggota keluarga saya yang merokok. Bahkan, di lingkup keluarga besar juga demikian, paman-paman saya tidak ada yang merokok. Saya akhirnya terbiasa dengan lingkungan bebas asap rokok.

Sampai akhirnya saya masuk SMA dan masuk ke kelas yang 80% muridnya lelaki. Kelas kami sangat kompak jika dibanding kelas yang lain. Waktu itu ada seorang di antara kami yang berulang tahun. Ia mengajak kami satu kelas untuk makan di Mie Ayam Pak P sepulang sekolah. Akhirnya bel pulang berbunyi dan kami pun segera menuju tkp. Sesampainya saya di sana, ternyata teman-teman lelaki saya sudah banyak yang duduk-duduk. Dan betapa kagetnya saya, ketika melihat mereka (hampir) semua merokok. Entah kenapa detik itu air mata langsung berkumpul di pelupuk. Beruntung saya berhasil menahannya. Tidak tahu pasti kenapa saya bisa sangat sedih saat itu, mungkin saya syok. Saya tidak menyangka sudah banyak anak berumur 14-15 tahun yang merokok secara terang-terangan. Sedihnya, mereka semua adalah teman yang saya kenal secara personal. Rasanya sangat sayang dan tidak tega melihatnya.

Ya sudah, saya diam saja dan tetap makan dengan gembira. Mencoba membiasakan diri, saya pun berkata dalam hati untuk jangan panik, karena mulai saat itu, pasti akan banyak perokok yang saya temui. Benar saja, setahun kemudian saya mulai berpacaran dengan kakak kelas, dia perokok. Hari-hari saya habiskan dengan mengkhawatirkannya, mengingatkannya untuk mengurangi rokok, dan melarangnya merokok ketika sedang berada bersama saya. Seharusnya waktu itu saya biarkan saja, ya? Toh, hidup ini dia sendiri yang jalani, hehe. Tidak sampai setahun kami akhirnya berpisah karena alasan yang tak jelas.

Memasuki dunia perkuliahan, ternyata semakin banyak perokok yang saya temui, lelaki maupun perempuan. Mereka dekat di setiap jengkal karena di area fakultas saya diperbolehkan untuk merokok. Makin lama saya berpikir, "Rin, kalau kau terus-terusan menghindar gara-gara asap rokok, kau gak bakalan punya teman. Mereka ini sudah dewasa dan tahu apa yang mereka lakukan." Begitu kira-kira kata saya kepada diri sendiri. Saya pun mulai membaur bersama para perokok dan berpura-pura tidak masalah dengan asapnya, menahan napas selama mungkin ketika asapnya tersembur mendekati hidung saya.

Lalu, bagaimana kalau nanti suamimu perokok, Rin? Haha, sepertinya saya tak bisa membayangkannya. Teman perokok masih oke, suami perokok? Rasanya saya tidak sampai hati kalau harus melihat suami saya membaca koran sambil merokok di beranda rumah, setiap pagi, sepanjang sisa umur kami. Sejak saya berpisah dengan mantan saya sewaktu SMA, saya selalu berdoa agar diberikan jodoh yang bukan perokok. Lalu ada yang bilang, sekarang cowo mana sih, Rin, yang gak merokok? Entahlah, yang jelas saya tetap berdoa demikian. Saya tidak ingin lagi menjadi perempuan menyebalkan seperti dulu, yang terus-terusan membujuk pacarnya untuk tidak merokok. Itu hidupnya, dan saya seharusnya tidak berhak untuk mengaturnya. Semoga Tuhan mengabulkan doa saya. Tapi bila tidak? Nanti saja pikir belakangan. Hehehe.


Labels: , ,
edit

No comments:

Post a Comment